Monday, May 16, 2011

Kesombongan Manusia ( Renungan )

Allah swt, telah menciptakan segala hal di dunia ini berpasang-pasangan. Panjang-pendek, gemuk-kurus, gembrot-langsing, jauh-dekat, besar-kecil, tinggi-rendah. Begitu pula kaya-miskin, pintar-bodoh, banyak ilmu-miskin ilmu, pejabat teras-rakyat biasa. Semuanya serba berpasangan. Sejak awal Allah Maha Gagah menegaskan bahwa perbedaan itu bukan merupakan ‘kelebihan sejati seseorang atas orang lain. Sebab, sesunguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa: taat kepada aturan-Nya baik perintah maupun laranganNya.

Allah berfirman yang artinya:

“Hai manusia, sesuangguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S al-Hujurat:13)

Dan karena itu pula, perbedaan tadi bukanlah bibit untuk melahirkan kesembongan manusia, melainkan merupakan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah Rabbul ‘alamin.

Sombong: Bertentangan Dengan Realitas

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, bersabda:”Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya sebesar dzaroh (atom)”

Lantas ada seseorang yang berkomentar: “Sesungguhnya seseorang itu suka memakai pakaian yang bagus dan sepatu bagus”

Menanggapi hal ini Rasulullah saw, menyatakan:

“Sesungguhnya Allah itu indah, suka pada keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia” [HR. Imam Muslim]

Hadits ini menjelaskan ada dua unsur yang terkandung dalam sebuah kesombongan: menolak kebenaran dan merasa diri lebih tinggi dengan merendahkan orang lain. Sebagai renungan, pernah seseorang yang cukup senior berdiskusi dengan seorang remaja berusia 21 tahun tentang wajibnya penerapan hukum-hukum islam. Setelah diskusi berlansung 1 jam 45 menit, kata akhir pun tidak dicapai. Remaja tadi tetap pada pendiriannya bahwa hukum Islam wajib diterapkan berdasarkan argumentasi, sedangkan sang senior menolaknya. Bahkan dengan ketus berujar: “kamu ini anak bau kencur! Sudah berani-beraninya menentang orang tua. Saya sudah kenyang dengan perjuangan. Penerapan Islam mah hanya merupakan ilusi”. Sikap demikian menunjukkan suatu sikap sombong. Bentuknya, menolak kebenaran yang nampak jelas didepannya.

Allahu Akbar. Hanya Allah sajalah Dzat Maha Agung lagi Maha Besar. Manusia –bukan hanya satu atau dua orang tapi setiap orang- serba kurang dan lemah. Siapapun orangnya, baik anda maupun orang lain, bila merenungi realitas manusia ini akan menyimpulkan bahwa tidak layak berlaku sombong.

Sebagai misal, tanyalah pada diri kita masing-masing, apakah kita yang membuat diri kita sendiri? Jawabannya pasti Tidak! Anda, sama dengan saya. Bukan saya yang membuat diri saya,dan diri anda bukan Anda yang membuatnya. Kita tidak punya kemampuan sedikitpun untuk menciptakan diri kita sendiri, apalagi menciptakan orang lain. Kita tidak memiliki kuasa untuk mengadakan diri kita. Anda, saya dan kita diciptakan oleh Allah swt. Bukan sekedar itu, kita juga tidak akan pernah mampu menghindar dari kematian. Bila ajal sudah tiba, tidak akan ada satu makhluk pun yang dapat mencegah apalagi terhindar darinya. Coba sebutkan, satu saja, orang yang dapat menghindar dari datangnya ajal! Tidak ada !!! Bila untuk sekedar mempertahankan keberadaan saja tidak mampu, apa yang menjadi alasan bagi kita untuk sikap sombong?

Realitas-realitas sederhanapun menjelaskan ketidaklayakan seseorang bersikap sombong. Coba kita tanyakan secara jujur dan sengaja pada diri kita, darimana dan siapa yang membuat baju, celana, sepatu, kancing, sletting, tas, potlot, pulpen, buku, peci, kerudung, mukena, kacamata minus, jam tangan, dan hand phone yang kita pakai ? Apakah semua itu kita membuat dengan tangan kita sendiri? Dan apakah kita mampu menyediakan dan memproduksi sendiri semua kebutuhan tadi? Ataukah sekedar membuat kancing pun kita tidak bisa? Bila demikian, apa layak kita memelihara rasa sombong dan ujub (angkuh) itu?

Ketika kita sedang makan, pernahkah menghayati siapa yang menanam padi, siapa yang menggilingnya, siapa yang membelinya dari pasar, siapa yang membuat magic jar untuk menghangatkan nasinya, siapa yang menambang minyak tanah atau gas untuk kompor, siapa yang menanam sayur yang kita santap, siapa yang memasaknya, siapa yang menanam kedelai bahan tempe yang kita santap, siapa yang mendatangkan tahu dari sumedang ke rumah kita, siapa yang menyediakan air bersih bagi kita? Apakah kita yang melakukannya? Siapa yang memeras susu murni yang kita minum? Siapa yang menanam pisang, apel, atau buah-buahan yang lainnya yang kita nikmati? Apakah kita yang melakukan semua itu? Dan apakah kita memiliki kemampuan untuk melakukan sendiri hal-hal tersebut?

Berikutnya, apakah gayung di kamar mandi, kita sendiri yang membuatnya? Sabun mandi dan sampo kita sendiri yang meraciknya? Belum lagi sisir dan cermin yang ada dirumah kita, kitakah yang membuatnya? Apakah kita mempunyai semua keahlian tersebut? Bila tidak, orang yang membusungkan dada sebenarnya hanya menunjukkan kenyataan bahwa ia tidak mengetahui dirinya sendiri (baca: ‘tidak tahu diri’)

Boleh jadi seseorang merasa dirinya lebih tahu dibandingkan dengan orang lain. Dari satu sisi tidak menutup kemungkinan benar, ia lebih tahu dari orang lain. Namun, sekalipun demikian, berlagak sok paling tahu hanyalah cerminan dari sejenis ketidak-ikhlasan Tidak tunduk kita –sewaku tersamar atau terang-terangan—merasa lebih dari orang lain merupakan awal kesombongan. Realitasnya, benerkah kita yang paling tahu atau serba tahu?


sekian renungan kali ini. kurang lebih nya saya mohon maaf. uusikum wanabshi bitaqwallah.
wassalamualaikum.wr.wb

0 comments:

Post a Comment

Jangan Malu-Malu ya.... untuk bercomment and Request apa aja, insya Allah juga pasti diberi kok......

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More